Materi Perkuliahan

Gawe Kuta Baluwarti: Harmonisasi Alam dan Sosial Sebagai Fondasi Kekuatan Banten

Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada abad ke-16 hingga 17. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional menjadikan Banten sebagai pusat peradaban dan kekuatan ekonomi-politik pada masanya. Namun, fondasi kejayaan Banten sesungguhnya terletak pada konsep filosofis yang visioner, yaitu Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis.

Konsep Gawe Kuta Baluwarti pertama kali digagas oleh Sultan Maulana Yusuf, raja ke-2 Kesultanan Banten yang memerintah pada 1570-1580. Ia adalah sultan pertama yang membangun infrastruktur kota dan benteng pertahanan dari bahan bata dan karang di Banten.

Apa itu Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis?

Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis secara harfiah berarti “membuat benteng pertahanan dari batu bata dan karang”. Ini adalah konsep pembangunan infrastruktur perkotaan di Banten dengan menggabungkan bahan alami (karang) dan hasil olahan manusia (batu bata).

Menurut catatan sejarah, Sultan Maulana Yusuf memerintahkan untuk memanfaatkan karang dari laut sebagai fondasi benteng, kemudian bagian atasnya dibangun dengan dinding batu bata. Benteng ini berfungsi sebagai pertahanan kota pelabuhan Banten dari serangan musuh.

Selain itu, konsep ini juga diterapkan dalam membangun istana, masjid, dan infrastruktur publik lain di ibu kota Kesultanan Banten. Dengan demikian, Gawe Kuta Baluwarti menjadi cikal bakal tata ruang kota Banten yang terencana dan kokoh berdasarkan prinsip harmonisasi alam dan buatan manusia.

Latar Belakang Lahirnya Konsep Visioner Gawe Kuta Baluwarti

Pada abad ke-16, Kesultanan Banten tumbuh pesat menjadi bandar perdagangan rempah-rempah dan komoditas lain yang strategis. Armada niaga dari berbagai penjuru dunia singgah di pelabuhan Banten untuk berbisnis.

Sebagai konsekuensinya, Banten juga menjadi buruan para penjajah dan bajak laut untuk merebut kekayaannya. Maka dari itu Kesultanan Banten membutuhkan infrastruktur pertahanan yang kuat untuk melindungi ibu kotanya.

Disinilah Sultan Maulana Yusuf memperkenalkan konsep Gawe Kuta Baluwarti, yaitu dengan memanfaatkan material alam berupa karang dan menggabungkannya dengan teknik konstruksi dinding bata oleh tangan manusia.

Melalui observasi dan penelitian, baginda menemukan bahwa karang mampu menopang beban berat bangunan di atasnya karena strukturnya yang kokoh. Sementara dinding batu bata lebih tahan lama dan praktis untuk membangun benteng pertahanan dalam waktu singkat.

Dengan demikian, konsep Gawe Kuta Baluwarti adalah wujud kearifan lokal Sultan Maulana Yusuf dalam merancang sistem pertahanan kota dan infrastruktur perkotaan di Banten. Ia memanfaatkan kekuatan alam semesta dan inovasi teknologi manusia untuk saling melengkapi satu sama lain.

Makna Filosofis Harmonisasi Alam dan Sosial

Jika ditelaah lebih dalam, Gawe Kuta Baluwarti mengandung makna filosofis yang visioner tentang harmonisasi antara alam dan masyarakat. Ini tercermin dari pemanfaatan karang sebagai representasi alam dan batu bata sebagai hasil karya manusia.

Konsep ini sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Nusantara bahwa manusia harus selaras dengan alam semesta. Keduanya dipandang sebagai mitra yang saling melengkapi, bukan entitas yang terpisah apalagi bertentangan.

Oleh karena itu, Gawe Kuta Baluwarti menjadi simbol perpaduan seimbang antara gatra alami (karang) dan gatra sosial (batu bata) dalam pembangunan Kota Banten. Ia merepresentasikan keseimbangan kosmos di tengah masyarakat Banten tempo dulu.

Selain itu, penggunaan karang yang berasal dari laut juga melambangkan Banten sebagai kesultanan maritim. Sementara batu bata sebagai produk sosial menunjukkan kemajuan peradaban dan keteknikan masyarakatnya.

Dengan demikian, penerapan konsep ini sekaligus memperkuat identitas Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam, maritim, maju, dan berperadaban tinggi pada zamannya.

Penerapan Gawe Kuta Baluwarti dalam Pembangunan Infrastruktur

Setelah resmi digulirkan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, konsep Gawe Kuta Baluwarti kemudian diterapkan secara masif dalam pembangunan infrastruktur kota dan pertahanan Banten.

Beberapa contoh monumental peninggalannya yang masih berdiri kokoh hingga kini adalah Istana Surosowan, Masjid Agung Banten, dan sisa-sisa Benteng Speelwijk. Semuanya menggunakan fondasi karang dengan struktur batu bata di bagian atas.

Selain itu, hampir semua tembok keliling, gerbang masuk, hingga menara pengawas di sepanjang pesisir Banten turut menerapkan konsep serupa. Bahkan benteng-benteng buatan Belanda di kemudian hari banyak yang mengadopsi metode ini.

Ini menunjukkan bahwa Gawe Kuta Baluwarti telah terbukti sebagai sistem konstruksi paling efektif dan kokoh di wilayah Banten. Prinsip harmonisasi alam dan buatan manusia yang terkandung di dalamnya sangat visioner dan relevan hingga kini.

Warisan Sejarah Panjang Konsep Gawe Kuta Baluwarti

Meski Kesultanan Banten telah runtuh, konsep Gawe Kuta Baluwarti yang digagas Sultan Maulana Yusuf tetap hidup dalam peninggalan sejarah dan budaya masyarakat Banten. Ia menjadi representasi filosofi harmoni sosial yang melekat erat dengan identitas daerah ini.

Penggunaan batu karang sebagai fondasi bangunan sampai sekarang masih lazim dilakukan di Banten dan sekitarnya. Demikian pula teknik konstruksi dinding batu bata yang kental dengan nuansa Islam. Ini menjadi bukti abadi pengaruh Kesultanan Banten di masa lampau.

Selain itu, semboyan Gawe Kuta Baluwarti juga kerap dijadikan nama jalan, fasilitas umum, hingga institusi pendidikan di Banten. Hal ini semakin mengukuhkannya sebagai konsep pusaka yang integral dengan peradaban masyarakat.

Bahkan dalam pengembangan pariwisata, slogan ini diresmikan menjadi icon Provinsi Banten dengan hashtag #GaweKutaBaluwarti. Upaya ini bertujuan untuk melestarikan warisan sejarah panjangnya sembari mengangkat potensi daerah.

Dengan demikian, walau sudah berusia ratusan tahun, semangat harmonisasi alam dan sosial dalam Gawe Kuta Baluwarti tetap relevan dan hidup dalam keseharian masyarakat Banten kontemporer.

Relevansi Konsep Gawe Kuta Baluwarti pada Masa Kini

Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini, konsep pembangunan berkelanjutan yang harmonis dengan alam kerap dilupakan. Namun, Gawe Kuta Baluwarti mengingatkan kita untuk kembali pada kearifan lokal yang visioner ini.

Pendekatan harmonisasi alam dan buatan manusia dapat diadaptasi menjadi solusi atas berbagai persoalan lingkungan dan sosial akibat modernitas. Seperti untuk mengurangi emisi karbon, mencegah abrasi pantai, hingga menjaga keberlanjutan sumber daya alam.

Selain itu, nilai-nilai filosofis Gawe Kuta Baluwarti juga sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks pembangunan peradaban manusia yang lebih berkelanjutan.

Yaitu dengan memandang alam bukan sekedar objek eksploitasi, melainkan mitra harmonis bagi kemajuan peradaban manusia itu sendiri. Keduanya harus tetap seimbang dan saling menunjang satu sama lain.

Oleh karena itu, marilah kita menghidupkan kembali semangat visioner harmonisasi alam dan sosial dalam konsep Gawe Kuta Baluwarti. Agar warisan budaya ini tetap lestari dan bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia di masa mendatang.

Comments