Militer Sebagai Kekuatan Politik di Indonesia: Sejarah, Penyebab, dan Dampaknya
Militer dan politik merupakan dua hal yang memiliki kaitan erat dalam perjalanan sejarah Indonesia. Keterlibatan militer dalam ranah politik kerap menimbulkan kontroversi terkait dampaknya terhadap stabilitas politik dan demokrasi.
Tulisan ini akan membahas mengenai sejarah keterlibatan militer dalam politik di Indonesia, penyebab, serta dampaknya terhadap perkembangan politik hingga saat ini.
Sejarah Keterlibatan Militer dalam Politik Indonesia
Keterlibatan militer dalam politik di Indonesia sudah dimulai sejak masa pergerakan kemerdekaan. Pada masa itu, banyak tokoh militer yang terlibat dalam organisasi pergerakan seperti Budi Oetomo, Sarekat Islam, hingga Partai Nasional Indonesia (PNI).
Setelah kemerdekaan, peran militer dalam politik semakin menguat pada masa demokrasi liberal tahun 1950an. Kala itu, militer turut membentuk partai politik seperti Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang ketuanya adalah Letnan Jenderal AH Nasution.
Puncak keterlibatan militer dalam politik terjadi pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Melalui konsep Dwifungsi ABRI, militer menjalankan peran ganda yakni sebagai alat pertahanan negara sekaligus kekuatan sosial-politik.
Pada masa Orde Baru, militer menempati banyak posisi strategis dalam pemerintahan melalui fraksi militer di parlemen, jabatan menteri, hingga birokrasi. Militer juga mendirikan organisasi kemasyarakatan seperti Golkar dan Korpri guna menopang rezim Orde Baru Soeharto.
Penyebab Militer Masuk Ranah Politik
Ada beberapa faktor penyebab mengapa militer kerap masuk dan campur tangan dalam ranah politik di Indonesia, antara lain:
1. Lemahnya sistem politik sipil
Sistem politik sipil yang lemah ditandai dengan minimnya checks and balances antar lembaga negara, politik uang, hingga konflik kepentingan antar partai politik dan tokoh sipil. Kondisi ini menciptakan ketidakstabilan politik yang memicu intervensi militer.
2. Memperkuat pengaruh dan meraih kekuasaan
Banyak politisi sipil yang menggandeng kekuatan militer untuk memperkuat pengaruh dan meraih kekuasaannya. Seperti halnya Soekarno dan Soeharto yang mendekatkan diri dengan pimpinan militer guna mendulang dukungan.
3. Mengisi kekosongan kepemimpinan sipil
Militer kerap diminta turun tangan dalam politik tatkala terjadi kekosongan kepemimpinan sipil akibat konflik politik yang berlarut atau tidak efektifnya sistem politik yang ada.
4. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah sipil
Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah sipil juga bisa memicu intervensi militer. Seperti halnya runtuhnya Orde Lama dan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan di tengah kekacauan ekonomi dan politik 1965.
Dampak Keterlibatan Militer Bagi Politik Indonesia
Dampak keterlibatan militer dalam perpolitikan Indonesia cukup signifikan, baik positif maupun negatif, yaitu:
Dampak Positif
- Militer berperan menjaga stabilitas politik di tengah konflik dan kekacauan
- Pembangunan infrastruktur pertahanan dan militer meningkat
- Terciptanya sistem komando dan manajemen yang tertib di tubuh militer
Dampak Negatif
- Menimbulkan intervensi berlebih militer terhadap wewenang sipil
- Menghambat proses demokratisasi dan konsolidasi sistem politik
- Rawan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM
- Menimbulkan stigma buruk terhadap citra militer di mata publik
Salah satu contoh nyata dampak negatif keterlibatan militer dalam politik adalah tragedi 1965 di mana ratusan ribu orang ditangkap dan dibunuh tanpa proses hukum yang jelas atas tuduhan terlibat G30S/PKI.
Militer sebagai Kekuatan Politik Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, militer menjadi kekuatan politik yang sangat dominan. Melalui Dwi Fungsi ABRI, militer secara resmi dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Beberapa peran penting militer sebagai kekuatan politik pada masa Orde Baru, antara lain:
- Mendominasi parlemen melalui fraksi ABRI yang menempati kursi terbanyak
- Menduduki jabatan strategis seperti menteri, pimpinan BUMN, gubernur hingga bupati
- Membentuk organisasi kemasyarakatan seperti Golkar, Korpri, dan Kowani
- Menjadi pengawas dan “penyeimbang” terhadap aktivitas partai politik dan organisasi kemasyarakatan
- Turut campur tangan dalam proses pemilu dan suksesi kepemimpinan nasional
Dominasi militer inilah yang kemudian melahirkan rezim otoriter Orde Baru di bawah komando Soeharto selama 32 tahun lamanya.
Dinamika Hubungan Militer-Sipil Pasca Reformasi 1998
Runtuhnya rezim Soeharto pada 1998 menandai babak baru hubungan antara militer dan sipil di Indonesia. Pasca reformasi, peran politik militer secara bertahap dibatasi melalui amandemen UUD 1945 dan UU tentang TNI.
Wewenang politik militer yang dihapus antara lain hak suara di MPR, hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, pembubaran fraksi ABRI di DPR, serta pelarangan praktik bisnis militer. Dwifungsi ABRI pun secara resmi dihapuskan pada 2000.
Meski demikian, hubungan militer dan sipil pasca-Orde Baru masih menyisakan sejumlah persoalan, antara lain:
- Masih adanya intervensi tidak langsung militer dalam politik praktis
- Belum optimalnya pengawasan sipil terhadap institusi militer
- Rendahnya profesionalisme personel TNI dalam menjalankan tugas
- Masih maraknya kasus pelanggaran HAM dan bisnis oknum militer
Kondisi ini menunjukkan bahwa konsolidasi hubungan militer-sipil di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak mudah.
Tantangan Hubungan Militer-Sipil ke Depan
Ke depannya, hubungan antara militer dan sipil di Indonesia diperkirakan akan semakin solid dan profesional. Namun sejumlah tantangan besar masih menghambat proses konsolidasi hubungan militer-sipil yang demokratis, yaitu:
1. Stigma negatif publik terhadap militer
Stigma publik bahwa militer identik dengan kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran HAM masih melekat kuat hingga kini.
2. Rendahnya pengawasan sipil terhadap militer
Fungsi check and balances dari lembaga-lembaga sipil seperti Komisi I DPR dinilai masih lemah dan perlu ditingkatkan.
3. Persoalan internal tubuh TNI
Seperti rendahnya profesionalisme prajurit, maraknya perselisihan antar matra, hingga praktik KKN oleh oknum militer.
4. Ancaman laten intervensi militer
Meski terbatas, potensi intervensi militer dalam politik masih menjadi ancaman laten jika terjadi krisis politik parah atau kekacauan keamanan.
Itulah sejumlah tantangan hubungan militer dan sipil yang perlu diwaspadai ke depannya agar terwujud sistem pertahanan modern dan demokratis di Indonesia yang sejalan dengan cita-cita reformasi.
Comments